Kamis, 02 April 2009

PeSANtREn

Fungsi tradisional pesantren
Pesantren menghadapi pengalaman dan mencoba eksperimen yang pada dasarnya sama dalam masa pemerintahan Orde Baru. Bertitik tolak pada pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru juga menaruh harapan kepada pesantren untuk menjadi salah satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Dengan demikian, pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisionalnya, yakni: pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam; kedua, pemeliharaan tradisi Islam; dan ketiga, reproduksi ulama.
Sesuai dengan ideologi developmentalism pemerintah Orde Baru, pembaruan pesantren dalam masa ini mengarah pada pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman. Dalam konteks ini, misalnya, substansi ilmu kalam yang diajarkan di pesantren diharapkan bukan lagi Teologi Asy'ariyah atau Jabariyah, tetapi teologi yang kondusif bagi pembangunan, yakni teologi yang lebih mendorong bagi tumbuhnya prakarsa, usaha atau etos kerja.
Selain itu, pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi (atau, tepatnya refungsionalisasi) pesantren sebagai salah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukannya yang khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yarg berpusat pada masyarakat itu sendiri (people-centered development) dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembngunan yang berorientasi pada nilai (value-oriented development).
Dalam kaitan gagasan itulah pesantren diharapkan tidak lagi sekedar mermainkan ketiga fungsi tradisional tadi, tetapi juga menjadi pusat penyuluhan kesehatan; pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan; pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup; dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Dalam konteks terakhir, terlihat semakin banyak pesantren yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas vocational dan ekonomi, seperti dalam usaha-usaha agribisnis yang mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan kehutanan; pengembangan industri rumah tangga atau industri kecil seperti konveksi, kerajinan tangan, pertokoan, dan koperasi.
Bisa disimpulkan bahwa respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak awal abad ini mencakup: pertama, pembaruan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan vocational; kedua, pembaruan metodologi, seperti sistem klasikal, penjenjangan; ketiga, pembaruan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan; dan keempat, pembaruan fungsi, dari semula hanya fungsi kependidikan, dikembangkan sehingga juga mencakup fungsi sosial-ekonomi.
System nilai dalam pesantren
Di tengah kondisi krisis nilai dalam bidang pendidikan, barangkali pesantren merupakan alernatif yang perlu dikaji dan dijadikan contoh menerapkan pendidikan nilai dalam pembentukan kepribadian para santri. Proses pendidikan di pesantren berlangsung selama 24 jam dalam situasi formal, informal dan non formal. Kyai bukan hanya mentransfer pengetahuan, ketrampilan dan nilai, tetapi sekaligus menjadi model atau contoh bagi para santrinya. Dengan pendidikan nilai yang sedemikian rupa, pesantren telah banyak melahirkan para alumni yang memiliki pengetahuan keagamaan dan melaksanakan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya, atau dengan kata lain ada integrasi antara ilmu dan amal.Keberhasilan pesantren dalam mendidikan santrinya tersebut bukan suatu kebetulan, tetapi ada nilai-nilai yang mendasarinya. Owens (1995:81) menyodorkan dimensi soft yang berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi, yaitu nilai-nilai (values), keyakinan (biliefs), budaya (culture), dan norma perilaku. Nilai-nilai adalah pembentuk budaya, dan merupakan dasar atau landasan bagi perubahan dalam hidup pribadi atau kelompok.
Dalam hubungannya dengan pesantren, pemahaman santri terhadap ajaran agamanya, menuntut mereka untuk berperilaku sesuai dengan esensi ajaran agamanya, dalam kajian budaya (organisasi), wujud kebudayaan tingkat pertama, yaitu kebudayaan ideal, termasuk dalam hal ini ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Sedang lapisan yang paling tinggi tingkatannya disebut dengan sistem nilai budaya yang biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Sistem nilai budaya sebagai wujud kebudayaan ideal yang paling abstrak berada dalam pikiran warga masyarakat (pesantren) di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Dalam dimensi ini, sistem nilai budaya yang berkembang dalam alam pikiran umat beragama itulah yang menuntun perilaku mereka, termasuk dalam pengelolaan pesantren dan interaksinya dengan komunitas internal dan eksternal pesantren.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut banyak hal-hal menarik dan perlu dikaji dari dunia pesantren terutama yang menyangkut sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang mendasari pola fikir dan akitivitas dalam merespon perkembangan budaya di pesantren dan di luar pesantren. Secara lebih spesifik, pola fikir dan aktivitas yang terpancar dari sistem nilai tersebut antara lain tercermin dalam: (1) Pola pembelajaran di pesantren, (2) Semangat pengabdian di pesantren, (3) Pola hubungan santri dengan kyai, santri dengan keluarga kyai, santri dengan santri dan santri dengan masyarakat, dan (4) Pola pemikiran dunia pesantren dalam merespon perubahan sosial, ekonomi, dan politik.
BY: Nur Cholish Madjid / Bilik-Bilik Pesantren

Tidak ada komentar:

Posting Komentar