Kamis, 02 April 2009

pemikiran nurcholis madjid

NURCHOLISH MADJID, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).
Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971. Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-sekarang; peneliti pada LIPI, 1978-sekarang; guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990.
Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku-bukunya yang telah terbit ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, suntingan Agus Edy Santoso (Bandung, Mizan, 1988). Sejak 1986, bersama kawan-kawan di ibukota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah satu hasil kegiatan itu. Dan sejak 1991 menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).
Nurcholish, anak yang bercita-cita menjadi masinis kereta api ini menyukai pelajaran ilmu alam dan berhitung. Selesai dari Fakultas Adab (Sastra dan Budaya Islam) IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ia melanjutkan ke Universitas Chicago selama enam tahun. Di sanalah Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish, dengan baik mempertahankan disertasinya, “Ibn Taymmiyya on Kalam and Falsafa”.
Sebelum ke Amerika, Nurcholish Madjid sudah dikenal sebagai tokoh pembaru Islam. Fiqh, akidah, akhlak, dan tasawuf, sebagai landasan berpikir umat Islam masa kini, dinilainya tidak memadai lagi. Karena itu, perlu sedikit diubah. Fiqh, misalnya, ia anggap sudah tidak relevan. Hukum fiqh yang ada sekarang adalah jawaban Islam melalui pemeluknya terhadap tantangan zaman waktu dulu.
Nurcholish mengaku mencita-citakan Negara Pancasila secara utuh. Tetapi ia menyayangkan bahwa baru hanya sila ketiga (Persatuan) yang relatif sempurna pelaksanaannya. Masyarakat kita lebih bersatu daripada berketuhanan, daripada bermusyawarah, dan daripada berkeadilan sosial, ujar Cak Nur yang pernah menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (Permiat).
Bulan Maret 1985, Nurcholish berbicara di depan diskusi Tantangan Umat Beragama pada Abad Modern. Agama memang suprarasional, kata penulis buku Khasanah Intelektual Islam itu, tetapi tidak berarti bertentangan dengan rasio. Agama yang tidak bisa bertahan terhadap ilmu dan teknologi dianggapnya bukan agama lagi.
Pendiri organisasi mahasiswa internasional IIFSO ini menggemari elektronik sejak kecil. Karena sibuk sebagai staf peneliti Deputi IPSK-LIPI, Nurcholish tidak bisa lagi menekuni kegemarannya itu.
Di bawah ini adalah pemikiran Nurcholis Madjid yang dinyatakan sebagai tokoh "Pembaharu Islam". Di antaranya semua agama sama benarnya,nikah beda agama boleh, peraguan kebenaran al Qur'an, hukum jilbab, dsb. Bahkan dia termasuk tokoh yang berperan dalam pembentukan Fikih Lintas Agama serta pembuatan tafsir Al Qur'an dengan paham Liberal. Polemik mengenai pikiran Nurcholish Madjid sudah berlangsung sejak 1970-an ketika ia melontarkan gagasan tentang sekularisasi, yang kemudian dibantah oleh Prof Dr HM Rasjidi, mantan Menteri Agama RI yang pertama. Para penentang keras lainnya tercatat nama-nama: Endang Saefuddin Anshari, Abdul Qadir Djaelani, Hartono Ahmad Jaiz, Adian Husaini, Daud Rasyid, Abu Ridho dan Muhammad Yaqzhan, Hidayat Nur Wahid, Adnin Armas, Syamsuddin Arif, Hamid Fahmi Zarkasyi (tiga nama terakhir bukan langsung menghadapi Nurcholish namun mengkritrik pemahaman model Nurcholish) dan masih banyak nama lainnya. Hidayat Nur Wahid, waktu awal-awal baru pulang dari Madinah tahun 1992, termasuk penentang Cak Nur, tapi belakangan ini tidak, bahkan ketika wafatnya Nurcholish Madjid, Senin 29 Agustus 2005, HNW yang jadi ketua MPR menyampaikan kata-kata yang banyak mengandung pujian lewat radio swasta di Jakarta. Kritikan lewat pengajian-pengajian pun banyak, di antaranya dilakukan oleh KH Abdul Rasyid AS, KH Ahmad Kholil Ridwan, H Husen Umar, Abdul Hakim Abdad, Zainal Abidin dan mubaligh-muballigh Jakarta lainnya. Dari Bandung, ada KH Athian Ali Da’i, Heddy Muhammad, dan lain-lain.
Bagaimana sebenarnya cara kerja Nurcholis Madjid? Dia punya ide besar tapi kita yakin itu tentu bukan ide pribadi dia. Apakah dia itu seorang yang bergerak sendiri atau bergerak dengan masyarakat tapi yang jelas dia bukan politikus. Bagaimana cara Nurcholis Madjid mengembangkan masyarakat? Cak Nur itu kecenderunganya seorang soliter, orang yang menyendiri. Dalam kesendirian itu dia memproduksi beberapa gagasan-gagasan sehingga tidak ada hubungan patron claint sebelumnya. Kalau pun orang simpatik, dekat pada Cak Nur itu karena kedekatan pemahaman, simpatik pada gagasannya. Bukan karena hubungan sangat pribadi. Ini beda dengan dunia kepartaian atau kyai dan santri. Cak Nur berbeda. Ini juga terlihat sejak di Universitas Paramadina maupun ketika meninggalnya pada tahun 2005 silam. Banyak orang datang dari berbagai lapisan karena simpatik pada pribadinya dan juga pikiran-pikirannya. Yang memberikan kekhasan pada Cak Nur itu, ia mempunyai dua aspek yang menonjol. Jadi kepribadian didukung intelektulitas. Intelektualitas dan kepribadiannya sangat menyatu. Konsistenlah kepribadiannya. Cak Nur sebagai Guru Bangsa dan bangsanya adalah Indonesia maka otomatis menjadi figur yang sangat penting di dunia. Apalagi sekarang Islam pada persimpangan jalan dalam pandangan orang-orang. Bagi masyarakat awam dan terutama di luar negeri sebetulnya ada dua istilah yang sering dipakai, dilempar-lempar tanpa orang mengerti implikasinya yaitu pluralisme dan sekularisme karena dianggap jelek. Bagaimana pluralisme dan sekularisme dalam hubungannya dengan pikiran Cak Nur?
Pertama sekularalisme, di dalam teori sosial politik filsafat kata itu menimbulkan multi interpretasi. Kita sering mengatakan sekuralisme itu sebagaimana Amerika, anti-Tuhan. Kalau sekuralisme dalam arti kedekatan urusan politik secara profesional dan kompetensi, ada benarnya juga sehingga kemudian agama diposisikan pada posisi yang anggun, yang tidak terkontiminasi oleh konflik politik. Dalam pengertian itu mungkin seperti Vatikan yang mengambil jarak dari politik praktis. Tapi sekularalisme dalam kontek Islam yang dimaksudkan Cak Nur tidak seperti itu. Itu hanya sebagai antitesis terhadap proses sakralisasi partai politik. Waktu itu Parpol disakralkan maka sekularisme dalam pengetian itu lebih tepat diletakan, maksud Cak Nur. Pemilu kemarin membenarkan tesis Cak Nur. Kalau orang memilih partai bukan karena semata Islamnya tapi karena visi dan programnya. Hasil penelitian, orang memilih PKS bukan karena PKS Islam tapi karena efesien dan bersih. Jadi walaupun memakai simbol Islam tapi ketika tidak didukung kompetensi dan intergritas tidak akan laku. Dalam pengertian ini maka, sekularisasi yang dimaksud Cak Nur itu lebih poporsional.
Kedua pluralisme, pluralisme itu satu paham yang muncul dari wacana ilmu sosial bahwa di dalam masyarakat yang plural kita mencari titik-titik temu untuk menciptakan perdamaian-perdamaian, memajukan bangsa bersama. Bukan mengidentikan, menyamakan semua agama. Ini yang lagi-lagi sering disalah pahami.
Pesan-pesan Cak Nur: Pertama, dia selalu mendorong untuk menjadi pendegar yang baik. Kalau kita punya pendapat sampaikan dengan baik dan santun. Kedua, sampai menjelang akhir hayatnya, Cak Nur selalu berpikir tugas pemimpin apa pun adalah membela dan membahagiakan rakyat. Jadi ukurannya adalah bagaimana perilakunya, pikirannya untuk membela rakyat. Ketiga, tunjukan bahwa Islam itu agama yang menjunjung tinggi perdamaian. Sebab, tidak mungkin peradaban dibangun tanpa ada perdamaian dan intelektualitas serta intergritas. Jadi ada tiga yang menonjol. Satu, kapasitas intelektual, dan kedua ditopang dengan integritas, dan ketiga berdamai. Untuk menciptakan damai orang harus taat pada hukum kemudian cinta kepada ilmu pengetahuan, dan mengembangkan kepribadian. Ini yang salalu diulang-ulang oleh Cak Nur dan yang dimaksud itu relevan untuk kita semuanya.

REFERENSI:
http://download.ymci.web.id/pakdenono/content/pakdenono1/web_offline/media.isnet.org/ISLAM/Paramadina/CakNur.html. (yang di akses pada tanggal 2 mei 2008)

http://www.mail-archive.com/is-lam@milis.isnet.org/msg01040.html (yang di akses pada tanggal 2 mei 2008)

http://www.mail-archive.com/is-lam@milis.isnet.org/msg01109.html (yang di akses pada tanggal 2 mei 2008)

http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Tokoh&id=98215 (yang di akses pada tanggal 2 mei 2008)

http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/05/30/nrs,20040530-05,id.html (yang di akses pada tanggal 2 mei 2008)

http://www.ghabo.com/gpedia/index.php/Nurcholis_Madjid (yang di akses pada tanggal 2 mei 2008)

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/08/nas07.html (yang di akses pada tanggal 2 mei 2008)

http://grelovejogja.wordpress.com/2007/06/01/adnin-armas-ma-sekularisme-nurcholis-madjid-jiplak-ide-harvey-cox/ (yang di akses pada tanggal 2 mei 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar